MERABU adalah potret keseimbangan. Antara alam dengan makhluk yang hidup di dalamnya. Berbekal adat dan agama, komunitas ini hidup berdampingan dengan alam yang harmonis dan membawa keberkahan. Rahmatan lil ‘alamiin, rahmat bagi seluruh alam.
Sang tetua dusun, Kakek Jiban selalu menjaga dan mengajarkan, bahwa alam adalah sahabat manusia. Simbiosis mutualisme terhadap alam, saling memberi keuntungan sebagai berkah Yang Mahakuasa.
Sebaliknya, Sematang, adalah daerah yang terkoyak. Sebuah desa yang awalnya hijau, namun berubah menjadi petaka karena kerakusan manusia.
Dalam situasi yang sangat kontradiktif, sang tokoh utama, Rumba dipertemukan dengan Salwa yang meratapi kematian keluarganya karena mempertahankan tanah dan hutannya. Gadis kecil sebatang kara dari Desa Sematang itu pun diasuh keluarga Rumba di Desa Merabu.
Perhatian dan kasih sayang orang-orang Merabu telah membantu Salwa bangkit dari keterpurukannya. Bahkan ia bersama Rumba mulai menghijaukan kembali tanahnya yang gersang. Salwa dan Rumba pun saling jatuh cinta. Namun sayang, cinta mereka terhalang oleh adat istiadat. Salwa yang kecewa akhirnya kembali ke desanya di Sematang.
Salwa yang tumbuh menjadi gadis cantik mendapat perhatian khusus dari Datuk Mursal, sang kepala desa. Dia diberi sebuah rumah mewah dan diorbitkan sebagai penyanyi organ tunggal. Di balik kebaikan itu, sebenarnya Datuk Mursal ingin memperistri Salwa sehingga dapat menguasai tanah dan hutannya yang telah dikelola bersama orang Merabu.
Tanpa sepengetahuan Salwa, Datuk Mursal memerintah anak buahnya untuk menyerang Merabu. Merabu, yang sepeninggal Salwa berkembang pesat sebagai tempat dakwah, bertekad untuk mempertahankan tanah dan hutan Salwa yang diamanahkan kepada mereka. Beberapa kali serangan pun gagal. Karena kesal, Datuk Mursal melaporkan Merabu kepada pihak berwenang. Fakta pun diputarbalikkan. Dikatakan bahwa Merabu memiliki pasukan dan ingin berbuat makar. Akibatnya, Merabu dan dukuh Talangsari sebagai pusat dakwah dihancurkan. Sebagian besar penduduk tewas dalam penyerbuan itu. Beruntung Rumba luput dari pembantaian.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, Salwa akhirnya menikah dengan Datuk Mursal. Namun sayang, pada malam pesta pernikahan, rahasia Datuk Mursal sebagai pembunuh keluarga Salwa terbongkar. Salwa pun kalap dan membunuh Datuk Mursal. Untuk menebus perbuatannya Salwa dijatuhi hukuman 20 tahun penjara.
***
Peristiwa Talangsari, Lampung yang terjadi pada Februari 1989 itu menjadi latar dalam kisah ini. Kritikan tajam Tomy Irfani sang penulis novel, terlihat menggugat pembunuhan manusia yang seolah-olah mendapat legitimasi oleh negara melalui tangan-tangan aparat. Ini adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Bukan kejahatan biasa (ordinary crime), tetapi sebuah kejahatan luar biasa (gross violation of human right) yang akhir-akhir ini juga bisa kita saksikan.
Seperti yang kita ketahui, peristiwa penyerangan aparat keamanan pada 7 Februari 1989 itu, telah menewaskan sekitar 300 orang. Dan hingga kini, kasus kejahatan kemanusiaan Talangsari, tak menemui ujung penyelesaian. Bahkan, meski pemerintah terus berganti, kasus Talangsari, tak jua diselesaikan dengan mengadili para penjahatnya.
Membaca karya sastra yang berlatar belakang sejarah dan peristiwa nyata, memang selalu menarik. Menikmati sastra, menikmati sejarah, dua kenikmatan sekaligus. Dan karya ini, patut diapresiasi dengan menyuguhkan dua ‘kenikmatan’ itu, mengingat saat ini tengah marak karya sastra fiksi yang menjejalkan nilai-nilai hedonisme, konsumerisme dan sekularisme.
Bukan hanya mengumbar kengerian, novel ini juga menyajikan nilai-nilai kehidupan yang mencerahkan. Sentilan kritik sosial, penggambaran alam yang cukup detail, dan eksplorasi budaya setempat yang dilakukan penulis membuat novel ini sarat makna. Dan pesan lain yang disampaikan adalah, agar Peristiwa Talangsari 1989, tak dilupakan sejarah!
Karena, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tak pernah melupakan sejarah,” begiulah kata Sang Proklamator Soekarno. Tomy Irfani tahu betul, pesan yang ia guratkan, bermakna universal dan long lasting. Sebab, sampai saat ini, masih saja ada pelanggaran hak asasi manusia dan perusakan lingkungan yang terjadi. Dan seperti biasa, tak ada upaya yang signifikan pemerintah untuk menyelesaikannya.
Sebuah karya sastra fiksi yang baik, paling tidak memiliki dua syarat utama agar pembaca tetap setia menuntaskan cerita sejak awal hingga akhir. Pertama, ia harus memiliki message atau pesan dan engine atau ‘mesin penggerak’.
Soal pertama, tak perlu disangsikan lagi, bahwa karya ini sarat makna. Sarat kritik atas ironi realitas kita.
Sayangnya, dari sisi engine, novel ini terasa lambat dan terasa bertele-tele. Alur maju yang disajikan, terkesan monoton dan memperlambat pesan utama yang disampaikan.
Bahkan dalam beberapa bagian, penulis menyampaikan secara berulang-ulang sehingga ‘mesin penggerak’ berjalan amat lambat pada dua bab pertama. Alur flashback atau maju-mundur, bisa menjadi pilihan yang tepat bagi naskah setebal 500-an halaman ini, agar pembaca cepat melanjutkan cerita dari halaman ke halaman.
Description: Resensi novel benteng Terakhir
Rating: 4.5
Reviewer: Unknown
ItemReviewed: Resensi novel benteng Terakhir
Posted by:Mbah Qopet
Mbah Qopet Updated at: 15:35
0 comments
Post a Comment